Keberagaman
Coba apa yang kamu pikirkan bila hadir dan tinggal di Amerika Serikat. Bangunan berarsitektur megah dan glorious, orang-orang yang berjalan di setiap walkpath yang menuntun anjing-anjing mereka yang imut dan lucu, atau mobil dan rumah mewah dengan beberapa orang pembantu, atau tempat dimana impian dan keinginan kita bisa terwujud dengan mudah.
Bila keinginan anda selipkan hal itu mentah-mentah mungkin anda akan benar-benar terkejut dengan keadaan yang akan saya tunjukkan ini.
Cleveland, Jumat 21 Januari 2011
Inilah cuaca yang biasa terjadi di wilayah Ohio Utara, dimana wilayah sekitar Danau Erie, -15ºC, selalu mendung dan bersalju di musim dingin. Aku berjalan bersama 3 teman yang baru aku kenal melalui perbincangan singkat. Kita berjalan bukan untuk pergi ke mall atau bioskop. Kita menyusuri setiap trotoar jalan protocol, melalui depan-depan toko roti dan makanan segar. Setiap mata berkonsentrasi pada tempat sampah yang mereka rasa adalah locker makanan mereka. Kita mengambil bungkus roti melihat tanggal kadaluarsanya dan menyimpan di kantung plastik besar yang aku genggam di ujungnya.
Kita kembali ke Whitmen house dimana mereka tinggal. Mereka adalah para orang-orang homeless yang berkumpul dalam satu atap di bawah koordinasi Gereja tua di Downtown Cleveland.
I’m glad you’re here Dhingga. Kata salah satu penghuni rumah itu sambil menjabat tanganku. Jabat tangan itu tak sekuat senyum dan tatapan matanya yang mengingatkanku untuk selalu bersyukur kepada Tuhan untuk kesempatan seperti itu, dan aku bisa mengenal siapa diriku dan mengapa hidup ini beraneka ragam dan kita yang selalu dituntut untuk bersaing satu sama lain. Uang, harta, nama, jabatan, kekuasaan telah membutakan mata orang-orang dan membuat leher mereka mati kaku untuk selalu menghadap ke atas. Tak selalu puas, ingin lebih dan lebih, sebagai manusia ekonomi dan consumer yang berlebihan.
Setelah semua makanan tertata rapi di atas meja dan semua orang yang kira-kira sekitar 15 termasuk aku berkumpul di ruang makan 3m x 4m ini. Kami duduk di seat masing-masing dan Julia, relawan lain yang kali itu kebetulan juga berada di sana untuk menyajikan dinner, mengisyaratkan untuk saling bergandengan tangan dan berdoa bersama. Makanan-makanan yang kita dapatkan sore itu mereka rasa sangat lezat, meskipun aku enggak tega untuk menelannya. Bayangkan makanan yang dengan tanganku sendiri aku mengambilnya dari tempat sampah, yang kita sulap menjadi soup dan salad, kemudian dihidangkan bersama orang-orang yang jarang sekali mandi dan kurang diketahui kebersihan dan jaminan kesehatannya. Dan aku teringat kata-kata Pak Hendro Pilihumatoro ketika menasihati OSIS yang aku pimpin tahun lalu,”Seberapa iman besar kamu, kamu sendiri yang tahu. Sebagai contoh. berjabat tangan dengan mantan penderita kusta kemudian makan bersama mereka di satu meja. Apa yang kamu rasa?”. Dan ternyata iman saya belum setebal itu. Aku sering bilang respect pada orang lain atau empati kepada perasaan orang. Tapi baru berkunjung seperti itu saja, sudah merasa jijik. Sok yang paling bersih sendiri. Padahal malam itu aku juga belum mandi. Hehe.
Mereka menyebut ini keluarga, mereka menyebut ini peace, dan mereka menyebut ini kedamaian. Di satu atap mereka berkumpul, berbagi cerita, dan berharap salah satu dari mereka bisa meninggalkan mereka secepat mungkin, dalam artian dia telah mendapatkan keberuntungan, baik pekerjaan baru atau tempat tinggal baru yang lebih layak. Impian yang tidak ingin mereka wujudkan. Karena mereka lebih nyaman tinggal di tempat itu.
Mereka adalah orang-orang yang beragam. Mereka didominasi oleh usia lanjut dan berkelainan. Beberapa dari mereka juga orang usia produktif yang bekerja tapi pekerjaannya tak tetap. Tak jarang dari mereka adalah yang berkecukupan tapi mereka ingin ikut merasakan bagaimana susahnya hidup, jadi mereka bergabung pada komunitas itu sebagai relawan. Bahkan 2 dari mereka adalah orang berpendidikan. Salah satunya lulusan universitas dan sekarang bekerja sebagai guru English Second Language tanpa dibayar. How amazing she is, she has nothing but she works as an unpaid job. Dia juga bergabung di kelompok relawan Peace Maker yang mengumpulkan buku untuk disumbangkan ke para tahanan penjara.
Ketidakberuntungan itu datang dari banyak jalan. Mungkin saja dari mereka yang berpendidikan rendah sehingga belum juga mendapatkan pekerjaan. Atau juga pengaruh drugs abuse dan prostitute yang mengakibatkan mereka pada blacklist kepolisian, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan.
Tekanan batin mereka sangat besar. Mudah sekali cemburu dan mudah terbakar amarah. Malam itu hampir saja terjadi perkelahian, karena salah satu tak sadar menempati tempat duduk orang lain, dan api perkelahian itu tersulut mudah sekali. Setelah salah satu dapat menenangkan diri akupun mencoba berbincang dengannya. Dengan nada rendah bersahabat aku tanya,”If you are given choices, what would you choose, weather million US dollar or a job $100 each month?” he replied,“What are you talking about? Exactly I would choose million dollars, so I don’t have to be in this fucking shit place!”. Bagi saya inilah akibat dari sikap kita yang selalu merasa rendah, dan kita sering diberi hal instan. Sehingga kita tak mau lagi berusaha dan tak sadar kemanjaan, ketergantungan akan harapan bantuan orang lain telah melekat di hati kita.
Sedikit terkecawakan sich, tapi sekali lagi inilah keberagaman. Pikiran setiap orang berbeda. Atau mungkin saja itu hal yang memang membuatnya bahagia dan menjadi lebih baik. Kita tak punya hak untuk menentukan nasib orang lain.
Dunia ini beragam. Dengan beragam itulah kita hidup. Mereka yang memilih suatu keputusan mungkin tak sesuai dengan keputusan yang dimiliki orang lain. Tua muda, kaya miskin, wanita pria, mereka punya salah dan benar. Dan mereka semua baik. Yang tak baik adalah orang yang tak memelihara mereka. PEACE! DAMAI! Adalah hal yang indah.
Comments
Post a Comment