Rupanya tanggal 2 Mei yang diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) memang benar harus diganti dengan Hajarnas (Hari Pengajaran Nasional). Pengajaran yang dinilai hanya memberikan fasilitas ajar bagi pesertanya tanpa adanya didikan yang terarah kepada kepositifisan, kemanfaatan, serta keadilan pendidikan. Seluruh lapis di negeri ini termasuk juga pemerintah rupanya sedang menghadapi ekspansi pokok liberalisasi dan komersialisasi.

Pemerintah yang dipandang sebagai lembaga penjalan negara, telah membuktikan paham yang berorientasikan pada pengenyampingan terhadap kemakmuran masyarakat umum. Salah satu tujuan konstitusional Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam teknisnya masih terganjal oleh sistem regulasi yang mengindikasikan posisi yang jauh dari tujuan utama itu. Salah satu prakteknya adalah disahkannya UU nomor 12 tahun 2012 atau UU PT yang juga menimbulkan banyak kritikan oleh aktivis-aktivis pendidikan dalam negeri. Kritik-kritik bermunculan karena pandangan UU ini yang dianggap telah merancukan kekuatan hukum UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sehingga menimbulkan dualisme hukum yang melemahkan kepastian hukum dalam teknis pelaksanaannya.

Pendidikan bermutu dan mampu diakses oleh seluruh warga tanpa adanya diskriminasi, juga masih tercoreng oleh kesalahan penerapan paradigma ini. Di sisi lain UU PT ini dapat juga dikatakan sebagai hasil alih wujud dari UU BHP yang telah dicabut oleh MK karena di dalamnya sarat akan swastanisasi dan komersialisasi pendidikan. Jer Basuki Mawa Bea adalah pepatah Jawa yang dapat menggambarkan keadaan ini, yang sering mematahkan kesempatan kaum marjinal menengah ke bawah untuk bisa mencicipi sajian pendidikan tinggi Indonesia. Bagaimana tidak, penerapan kebijakan di Indonesia justru memperlebar kesenjangan beban pada neraca keadilan antara si miskin dan si kaya. Padahal hal ini sangatlah tidak tepat dilihat bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang, dan negara wajib membiayainya.

Pasal-pasal dari Undang-Undang tersebut yang mengakibatkan neraca keadilan berat sebelah, yang juga dipakai sebagai landasan oleh Forum Peduli Pendidikan (FPP) dan Komisi Nasional Pendidikan (KNP) dalam mengajukan Judicial Review terhadap UU ini adalah:
-          Pasal 64 tentang otonomi kampus
Yang memberikan kebebasan kewenangan bagi setiap PT untuk mengatur urusan rumah tangga masing-masing. Inilah yang menjadi salah satu celah munculnya kebijakan-kebijakan kampus yang dirasa kurang sejajar terhadap kebutuhan pendidikan, terutama hal pembiayaan.
-          Pasal 65 tentang pembentukan perguruan tinggi negeri badan hukum, yang akhirnya dapat dipandang bahwa PT adalah merupakan badan privat yang diorientasikan pada hal bisnis, menurut Yura Pratama (aktivis pendidikan KNP).
-          Pasal 73 tentang seleksi mahasiswa baru yang memungkinkan kampus membuka berbagai macam jalur penerimaan bagi mahasiswa baru. Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah selama tidak munculnya bau diskriminasi. Namun yang terjadi bukanlah demikian, diskriminasi sangat terasa dengan adanya pengklasifikasian mahasiswa regular, non-reguler, jalur mandiri, kelas internasional dan lain sebagainya.
-          Pasal 86 tentang fasilitas dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan dana penelitian kepada perguruan tinggi. Hal ini diprediksikan dapat menghilangkan kemandirian kampus serta ditakutkan bahwa kepentingan kampus akan identik dengan perusahaan yang membiayai kampus itu.

Ada indikasi lain yang mengakibatkan tumbuhnya berbagai macam kebijakan dari lubang perundang-undangan ini. Salah satunya UKT yang  muncul dengan dasar Surat Edaran Dikti No. 97/E/KU/2013 yang berisi tentang permintaan kepada Pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru program S1 Reguler. Yang dipertanyakan adalah bahwa Pasal 64 tentang ketentuan kebijakan non akademik Pendidikan Tinggi sesuai dengan Pasal 68 akan diatur lebih lanjut di Peraturan Pemerintah dan Statuta PTN sesuai pasal 66 ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Lalu bagaimana kekuatan hukum yang dikandung oleh SE tersebut jika hal ini telah diatur dalam UU PT sedemikian hal. 

Seharusnya UKT merupakan jawaban dari pemerintah terhadap kegelisahan masyarakat. Tetapi praktek-praktek lapangan yang didukung oleh otonomi kampus dari UU PT yang seolah jadi cuci tangan pemerintah terhadap pendidikan tinggi sangat tidak tepat diterapkan di saat ini, karena seringnya permainan-permainan kotor yang dilakukan akibat kebijakan-kebijakan otonomi. Bayangkan apabila para siswa yang lulus dan meneruskan pendidikan di PT, kemudian dengan polos disuguhi pembiayaaan yang melangit karena sistem UKT yang belum tepat sesuai aturan di beberapa Perguruan Tinggi Negeri. Lalu sikap apa yang kita tunjukkan mengenai keberadaan UU ini, dilihat bahwa asas legalitas dalam sistem hukum di Indonesia merupakan salah satu dasar dari wujud kepastian hukum yang menjadi pokok idealisme regulasi bangsa ini dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Apakah UU ini akan tetap dijalankan sesuai substansinya yang mendiskriminasi pendidikan? Ataukah ada solusi yang lebih tepat?

Comments

Popular posts from this blog

Jayeng Kusuma Kridha

Istilah jawanya,"TITENANA!!!"

"Thank you": The Secret to Our Success!