Tengger dan Padang Teletubbies dalam 12 Jam 30 Menit

Sabtu, 6 April 2013, Jam 1.00 WIB
Kami berkumpul di kontrakan Nauval, yang tepatnya di daerah Kumis Kucing Malang.

Destinasi kami adalah Gunung Bromo. Dan tujuan kami adalah melihat matahari terbit. Ini sedikit nekat jika diceritakan ke belakang bahwa rencana ini muncul siang hari sebelum Jumatan setelah Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Hukum Pidana. Kedok kami pun simple, kami datang dari rantauan dan jenuh dengan datarnya kegiatan kuliah, menjajal berpatroli ke arah timur dari Kota Malang, dan berangkat.

Jalan Sukarno-Hatta yang biasa di siang hari menjadi jalur utama untuk berdesak-desakan bagi kendaraan, penghubung antar lokasi di jantung Kota Malang, telihat belum begitu hidup ketika kami memulai perjalanan. Kami yang bertujuh, beriringan  secara seri ke belakang, dengan 4 motor, Aku dan Afif berplat AG, Nauval dan Raditya berplat B, Feisal dengan vespa kerennya berplat B, dan Arya dan Radityo naik megapro BE. Dan gak ada satu dari kami yang berplat N alias asli daerah Malang, jadi dengan bantuan GPS adalah satu-satunya harapan bagi kami.

Aku pribadi tahun lalu sudah pernah ke Bromo dan mengambil rute lewat Probolinggo, yang kata orang adalah jalannya nyaman, mudah, tapi jauh. Dan dengan sok tahu kami lewat jalur rekomendasi GPS yang  menunjukkan jalan potong. Rute ini melewati Desa yang namanya Nangkajajar. Yang ternyata jalan semakin sempit, semakin nanjak, dan semakin makadam (istilah Jawa dari jalan bukan aspal). Belum lagi mendekati subuh, kabut semakin tebal. Seperti diburu waktu.

Kami semakin optimis bahwa jalan yang kami lalui memang benar-benar eksis, bukan hanya di peta saja. Suasana juga semakin mendukung setelah kami tahu di beberapa bagian jalan, ada semacam sesaji yang diletakkan, dan di beberapa tikungan terdapat pura-pura kecil, yang kami yakini sebagai tempat sembahyang masyarakat suku Tengger.












Beberapa photograph yang kami ambil ketika di sana. Tak merasa kecil hati dengan hanya bekal Camera Digital, meski pengunjung lain menggunakan Camera SLR. Juga tak merasa kecil hati dengan hanya naik sepeda motor kota, meski pengunjung lain berkendara MotoCross dan Jeep untuk tracking off road. Yeah! We are still cool!!!!



Seneng banget aku lihat orang-orang ini naik kuda.






Semakin siang kabut yang tadinya sempat membuat kawasan padang pasir seperti berada di atas awan semakin hilang, sinar matahari yang sepertinya sedikit terlambat juga sudah terlihat. Tapi matahari di sini hanya memberi sebatas pencahayaan, bukan kehangatan. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar sambil ngopi dan mbakso arema, meski baksonya gak selezat yang biasanya mangkir di fakultasku.Tapi gak apalah, untuk gantikan tenaga berkelut di jalan makadam sebelumnya tadi.

Orang yang menjual bakso arema itu sangat baik. Nama mas-nya gak tahu, aku sebut saja mas penjual bakso Bromo. Beliau sangat setia menceritakan kepada kami tentang aktivitas Gunung Bromo. Yang menurut pengamatannya saat letusan terakhir luas kawah Bromo tidak segitu lebar, dan bahkan jalan setapak di bibir kawah saat ini sudah menyempit. Dari percakapan itulah kami direkomendasikan untuk balik ke Malang lewat jalur antara Gunung Bromo dan Gunung Semeru.


Lewat jalur ini kami benar-benar disuguhi pemandangan yang jauh berbeda dari jalur sebelumnya. Di padang pasir terlihat seolah gersang tanpa ada tumbuhan hijau, tetapi di jalur ini kami melewati deretan bukit hijau tanaman semak perdu, yang orang-orang menyebutnya Padang Teletubbies. Dari jalur ini akan lebih dekat dengan Malang, tepatnya di daerah Tumpang. Dibutuhkan waktu sekitar 5 jam dalam perjalanan lewat jalur ini. Dan kami sampai di Malang sekitar jam 13.30. Terlambat 30 menit dari rencana awal untuk melakukan perjalanan selama 12 jam.

Comments

Popular posts from this blog

Jayeng Kusuma Kridha

Istilah jawanya,"TITENANA!!!"

"Thank you": The Secret to Our Success!