Blangkonan

"Sampekno salam mesraku kanggo pacar-pacar ning Balokan",

Nggak tau mengapa kata-kata kutipan dari buku Para Priyayi itu yang selalu passing through my mind waktu menjelajah lintasan dokar dan pejalan kaki di Yogyakarta 3 hari yang lalu. Pastinya that book's thought telah ambil alih pikiranku di sana, dan pastinya buku yang lebih banyak mengambil setting di Yogya, Solo, dan sekitaran Madiun itu telah mempengaruhi otakku. But it was a good thing, paling tidak bisa lebih ngimprove bahasa dan dialeg Bahasa Jawa asli setelah I get used to Bahasa Jawa Malangan, yang menurutku begitulah.

Yogja always sounds good to me, bukan hanya aku tapi seluruh penduduk Indonesia dan dunia mungkin ya. Mereka menunjukkannya melalui antusias naik becak keliling, naik trans yogja, mengisi memori kamera mereka dengan captured picture of the buildings and cultures they found out there. Bukan hanya kota dengan budaya asli Jawa menurutku Yogya dengan kearifan lokal mereka telah membuktikan kesetiaan dan pengabdian besar diri penduduknya pada bangsanya. Menurut cerita yang aku dapat dari tukang becak di daerah malioboro,"Ketika pernikahan putri sultan beberapa waktu yang lalu seluruh warga tanpa instruksi secara terstruktur mengadakan selamatan di rumah masing-masing, dan memberi jajanan mereka pada tourists dengan gratis". Bahkan sampai sekarang abdi dalam keraton hanya menerima gaji sekitar beberapa ribu rupiah. Bayangkan...

And the adventure started at Gubeng Railway Station, Surabaya

Sancaka Train got us into Tugu, Yogyakarta

Welcome to Jogja

Kids are going to school between the painted wall (mural)

Angkringan at the morning with gudeg (original meal of Yogya with banana leaf as plate)
Prambanan Temple with its courage




Feels like Subway in New York City, but it's not, It's Trans Jogja, kinda similiar though..
vintage












 

Comments

Popular posts from this blog

Jayeng Kusuma Kridha

Istilah jawanya,"TITENANA!!!"

"Thank you": The Secret to Our Success!